Selasa, 15 Maret 2011

Dia

Namanya Mutia.

Sejak kecil kami tinggal di kompleks perumahan yang sama. Pabrik gula tempat ayah kami bekerja, menyediakan beberapa kompleks perumahan untuk ditinggali. Kebetulan saya dan Mutia tinggal di kompleks yang sama, yang sekaligus menjadi pusat dari beberapa kompleks lainnya. Namun bedanya, karena ada perbedaan tingkat jabatan antara ayah saya dan ayah Mutia, kami tidak tinggal dalam blok perumahan yang sama.

Ayah Mutia bersuku Jawa, sementara ibunya bersuku Padang. Saya mengenal baik keduanya. Saya bahkan sempat berbicara cukup panjang dengan kedua orangtuanya tentang hubungan saya dan Mutia. Meski saat itu kondisinya kami sempat bertengkar hebat (saya dan Mutia).

Saya mengenal Mutia sejak masih sekolah dasar. Tapi kami tak begitu akrab dengan dia. Seingat saya, kami pernah satu kelas semasa kelas 2 SD. Saya masih ingat dengan baik satu memori tentang kelas 2 SD bersama Mutia. Tanpa alasan yang jelas, saya berlari dari parkiran sepeda, masuk kelas, dan kemudian berteriak, "Hei Mutia, camkan apa yang saya katakan" (lantaran cuma Mutia yang ada di kelas saat itu). Kemudian saya melengos keluar. Sepertinya saya baru saja terkena efek sinetron.

Saya baru kenal Mutia dengan lebih akrab semasa SMP. Dan keakraban kamipun dimulai dari sebuah cara yang sebenarnya tidak mengenakkan hati.

Kenapa?

Saat itu, Mutia adalah teman dekat dari seorang wanita yang sedang kutaksir (saat itu). Yah boleh dikata saya minta dicomblangkan dengan teman dekatnya itu.

Apa daya gara-gara keseringan berbincang dengan Mutia, saya malah jatuh hati dengan si Mutia ini. Beberapa kali saya tembak dia, selalu ditolaknya. Pikirnya saya hanya menjadikannya pelarian dari wanita yang pernah saya taksir dulu.

Tapi saya tak menyerah. Saya coba terus dekati dia. Akhirnya ketika dia mulai menunjukkan tanda-tanda mau, saya tembak Mutia sekali lagi.

Kali ini Mutia minta waktu...

0 komentar:

Posting Komentar